Akhir-akhir
ini negeri kita yang tercinta Indonesia, banyak sekali terjadi peristiwa yang
membuat kita miris dan sedih untuk melihatnya, sebabnya adalah semakin
banyaknya kasus main hakim sendiri dikalangan masyarakat, apa yang menyebabkan
semua itu terjadi.
Beberapa
minggu terakhir kita dikejutkan oleh berita yang mengganggu situasi politik,
hukum, dan keamanan yaitu kasus penyerangan Lapas Cebongan di Sleman,
Yogyakarta, kasus main hakim sendiri terhadap Kapolsek Dolok Pardamean AKP
Andar Sihaan, penyerangan 4 tahanan Lapas Cebongan, penembakan Kepala RS
Bayangkara Polri Makassar Kombes Purwadi, serta aksi-aksi kekerasan dan
pengrusakan yang terjadi di Palopo, Sulawesi Selatan, dampak dari
pemilukada dan masih banyak kasus-kasus yang lainnya yang terjadi
ditengah-tengah masyarakat.
Mengapa
Main Hakim Sendiri?
Mengapa
begitu mudahnya masyarakat melakukan tindakan main hakim sendiri, Alasan
mengapa masyarakat lebih sering main hakim sendiri saat ini timbul karena
berbagai faktor:
1.
Faktor pertama adalah persoalan psikologis yang saat ini terjadi pada
masyarakat. Alasan psikologis bisa jadi ditimbulkan karena tekanan ekonomi yang
serba sulit yang melahirkan rasa frustasi. Hidup dalam keadaan tertekan
ditambah lagi adanya kesenjangan sosial antara kaya dan miskin yang lebar
menimbulkan gesekan sosial.
2.
Faktor kedua adalah ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum.
Saat ini sedang terjadi kondisi dimana tatanan sistem hukum yang dijalankan
oleh pemerintah dalam arti luas tidak lagi dipercaya oleh masyarakat. Kondisi
ini memiliki ciri-ciri dimana hukum tidak lagi dipandang sebagai human
institution yang dapat memberikan rasa perlindungan hak-haknya sebagai
warga negara. Oleh karena itu, harus segera dilakukan langkah-langkah untuk
melakukan pengembalian kepercayaan tersebut.
3.
Faktor ketiga, komunikasi masyarakat dan aparat penegak hukum yang kurang atau
belum tersosialisasikan dengan baik sehingga pada saat membutuhkan pertolongan
hukum, masyarakat mengalami kebingungan.
Setiap
kali terjadi tindakan main hakim sendiri oleh warga, polisi adalah aparat
penegak hukum yang paling banyak direpotkan. Dalam banyak kejadian, warga baru
melaporkan kejadiannya setelah korban babak belur bahkan tewas di tangan
mereka. Amuk warga kembali mengingatkan. Masyarakat memelurkan kepastian
penegakan hukum oleh aparat.
Banyaknya
kasus kekerasan dan main hakim sendiri menunjukkan lemahnya penyelesaian
masalah oleh pemerintah. Maraknya kasus kekerasan juga semakin menurunkan
kepercayaan publik dalam konteks hukum dan keamanan nasional. Pemerintah dan
masyarakat diminta tak membiarkan pola main hakim sendiri terus berlanjut, Karena
jika terus akan dibiarkan maka akan berlaku hukum rimba, dimana yang kuat
memangsa yang lemah.
Sikap
main hakim sendiri berkorelasi dengan rendahnya mutu penegakan hukum.
Masyarakat stres dan frustrasi: melihat kasus pencurian menjadi biasa, tindak
kekerasan meningkat, dan belakangan kekerasan dan kejahatan seksual, terutama
terhadap anak-anak di bawah umur sudah dalam kondisi darurat. Bagaimana
masyarakat tidak resah, marah, dan frustrasi, karena pemerintah dan aparat
penegak hukum seolah-olah tidak mampu menyentuh kejahatan-kejahatan seperti
itu.
Hukum
cenderung berpihak kepada penguasa, elite, dan kelompok tertentu, terhegemoni
oleh lingkaran mafia. Dunia hukum kita mencatat sejarah kelam dalam kasus nenek
Minah, pencuri tiga biji kakao di Banyumas; empat keluarga pencuri kapuk randu
di Batang; remaja AAL pencuri sandal di Palu; atau Basar Suyanto dan Kholil
yang mencuri semangka di Kediri. Di sisi lain, ketika hukum diharapkan membawa
efek jera, 60-an persen vonis ringan justru menjadikan korupsi sebagai gaya
hidup.
Hukum
menampakan wajah kapitalis. Kartel impor bahan pangan yang menyengsarakan
masyarakat seperti tak terjangkau. Warga tak berkutik menghadapi penggusuran
tanah untuk lahan industri. Perselisihan buruh berakhir dengan kekerasan. Di sisi
lain, penguasa, pejabat, dan elite serta anak-cucunya seakan-akan kebal hukum.
Satu dekade reformasi tak mengubah keadaan, bahkan makin parah. Hukum hanya
menjadi alat kepentingan mempertahankan kekuasaan dan penguasaan modal.
Apakah
memang masyarakat terlalu toleran terhadap tindakan diskriminatif penegak
hukum, sehingga terjadi semacam pembiaran? Kita seolah-olah mahfum akan
kentalnya hukum transaksional untuk mendapat keistimewaan, kebebasan, dan
kekebalan. Krisis kepercayaan kepada hukum pun akhirnya tak terhindarkan. Lalu
bagaimana jika masyarakat memilih mencari jalan keluar sendiri untuk mencari
keadilan? Kita tentu tidak ingin tragedi-tragedi pada awal reformasi terulang
kembali.
Kalangan
pengamat menilai, tindakan main hakim sendiri disebabkan oleh banyak hal.
Diantaranya adalah perasaan tidak percaya masyarakat terhadap ketegasan aparat
dalam menegakan hukum. Banyaknya pelaku kejahatan yang lolos dari jerat hukum
dan sebagainya. Lemahnya penegakan hukum terlihat dari banyaknya kasus main hakim
sendiri.
Tak
bisa dipungkiri bahwa apa yang terjadi di masyarakat saat ini adalah cerminan
dari hippermoralitas, hippermoralitas merupakan suatu keadaan atau situasi
dimana anggota masyarakat tidak bisa menentukan mana yang baik atau yang buruk.
“Yang jelek dianggap benar, kadang yang benar dianggap jelek. Semua serba
abu-abu. Hal itu membuat masyarakat yang menghakimi pencuri, pencopet atau
penjambret menjadi seolah-olah merupakan tindakan yang benar. “Padahal memukul
hingga luka parah bahkan meninggal secara hukum dan moral tetap saja salah.
Karena sama saja kita tidak jauh berbeda dengan mereka.
Selain
itu formalisme tersebut terjadi juga karena dampak reformasi yang sudah
berlebihan. “Dimana orang menjadi bebas melakukan sesuatu tanpa ada batasannya,
padahal kebebasan itu tidak bisa sebebas-bebasnya tetapi ada batasannya. Aparat
pemerintah yang semakin tidak berwibawa di kalangan masyarakat. Bahkan aturan
yang ada menjadi tidak berfungsi
Mencegah
Tindakan Main Hakim Sendiri
Tindakan
main hakim sendiri tidak boleh terjadi di Indonesia yang katanya dikenal
sebagai masyarakat yang beradab dan bermoral. Perlu ada kesadaran baik dari
masyarakat maupun pemerintah, terutama aparat penegak hukum. Apalagi
dengan adanya Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan
Keamanan Dalam Negeri Tahun 2013, pejabat pemerintah baik pusat maupun daerah
harus lebih tanggap. untuk mengantisipasi masalah tersebut, harus ada kerjasama
antara tokoh-tokoh masyarakat, tokoh agama, aparat pemerintah, kepolisian,
Lembaga Swadaya Masyarakat dan lainnya. “Tokoh-tokoh masyarakat tersebut harus
mensosialisasikan kepada masyarakat bahwa tindakan kekerasan dalam hal apapun
tidak diperbolehkan. Tindakan dalam menangani sesuatu tetap tidak
diperbolehkan, selain itu perlu ada keseragaman langkah dengan masyarakat
antara lain:
1.
pertama, pererat komunikasi antara penegak hukum dengan masyarakat. Beri
kesadaran akan pentingnya penegak hukum bagi keamanan masyarakat. Intensitas
komunikasi antara penegak hukum dengan masyarakat akan meningkatkan citra dan
kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum di negeri ini.
2.
Kedua, penegakan hukum yang tegas dan transparan. Penegakan hukum yang jelas
atau sesuai dengan standar hukum yang berlaku akan memberikan kepuasan kepada
masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan para penegak hukum. Dalam hal
kasus penyerangan lapas Cebongan, transparansi sudah dilakukan dan hal tersebut
mendapatkan apresiasi dari masyarakat. Semoga ini bisa menjadi pemicu agar
masyarakat tidak lagi menyelesaikan segala persoalan dengan main hakim sendiri
Masih
terjadinya sejumlah aksi kekerasan diatas, seharusnya dapat dicegah apabila
tingkat kesadaran hukum masyarakat tinggi yang tentu harus dibarengi dengan
ketegasan aparat penegak hukum. Demikian pula ketegasan pemimpin, yang akan
membuat nyaman petugas penegak hukum dalam bertindak.
Agar
hukum dipercaya masyarakat, pemerintah dituntut serius membangun dan menguatkan
sistem hukum yang berfungsi sesuai treknya; tidak ada diskriminasi terhadap
siapa pun yang berurusan dengan hukum. Kita menunggu komitmen penguasa dan
elite untuk bertindak konkret, sedikit bicara banyak kerja. Rakyat berharap
hukum bukan sekadar produk politik untuk melindungi kepentingan tertentu,
melainkan yang berkeadilan, melindungi semua orang dan golongan tanpa
diskriminasi.
Kita
tentunya tidak berharap negara yang kita cintai Indonesia hancur begitu saja,
kita tentunya tidak mengharapkan negeri ini berada di ujung kehancuran,
dimana hukum sudah tidak dianggap, hukum rimba berlaku dan merajalela, yang
kuat menindas yang lemah, sehingga akhirnya kita menjadi homo homini lupus
(manusia serigala) yang saling memangsa antara yang satu dengan yang lainnya.
Tapi
satu yg hal pasti, kalau “kita semua” tidak ada yg melakukan sesuatu apapun
itu, baik itu dengan cara halus atau kasar dan sadar sendiri atau disadari oleh
orang lain, maka tinggal tunggu waktu negara ini hancur dgn sendirinya. ibarat
kaki borokan tapi di diamkan dan dibiarkan saja, lama-lama bisa diamputasi atau
bahkan bisa menyebabkan kematian tragis. Sudah saatnya semua elemen berkomitmen
untuk menyelamatkan negeri ini dari ujung kehancuran.
*beberapa
sumber diambil dari Kompasiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar