Seandainya pada saat ini komunikasi jarak jauh hanya sebatas surat saja yang hanya bisa
dikirimkan via Pak Pos, atau bahkan dikirim melalui Merpati Pos. Tak
ada telepon, tak ada mobile device, tak ada televisi, tak ada surat
kabar. Mungkin akan terjadi pembusukan informasi sebusuk-busuknya.
Artinya, akan terjadi pembekuan informasi yang tidak tersampaikan dalam
waktu singkat kepada masyarakat luas, saat masyarakat harus mengetahui
informasi atau bentuk sosialisasi apa pun. Namun di lain sisi keadaannya
mungkin akan lebih adem, karena bisa meminimalisir beragam jenis
penipuan yang terjadi entah itu melalui ponsel atau jaringan sosial di
internet pada akhir-akhir ini.
Teringat
Suku Baduy Dalam dan masyarakat Kampung Naga, juga masyarakat Kampung
Togutil, Ternate, Halmahera Utara, yang menolak arus modernisasi. Mereka
sangat menjaga dan melindungi wilayahnya dengan sangat ketat demi
kelestarian kemurnian. Bukan semata-mata agar terlihat unik, namun di
situlah letak kebahagiaan sejati bagi mereka. Hidup murni alami tanpa
diembel-embeli dengan sentuhan modernisasi. Bahagia tanpa gedung-gedung
tinggi ber-AC, kendaraan, televisi, radio, blackberry, ipad, iphone, internet, twitter, facebook.
Saat
menyadari bahwa kita hidup di tengah-tengah kemajuan era globalisasi
ini, dengan sedikit banyak harus melibatkan media sebagai sarana
komunikasi yang ada, bahwa dijitalisasi memang merupakan hal yang tidak
dapat dibendung. Arus ini seperti sungai mengalir ke muaranya dengan
deras. Kita tidak dapat menahan era ini (apalagi
menahannya dengan kedua telapak tangan kita); di mana segalanya bisa
diperoleh dengan sangat mudah dan cepat. Makanan yang kita inginkan,
seketika ada di meja makan kita di rumah, hanya dengan beberapa kali
sentuhan jemari kita pada angka telepon saja.
Informasi
apa pun yang dibutuhkan, akan dengan sangat mudah menghampiri kita,
hanya dengan menyentuhkan jemari kita di atas keyboard komputer yang
terhubung dengan internet. Istilah googling yang paling marak terdengar
dan digunakan. Mesin pencarian yang satu ini memang sangat diminati
penggunaannya, dibanding dengan mesin pencarian lainnya seperti ask,
yahoo, excit, goto, vivisimo, altavista, lycos, alltheweb, theoma,
infoseek, dan lain sebagainya. Hingga kemudian muncul pertanyaan apakah
google itu seperti tuhan yang serba tahu segalanya? Meskipun tidak
selamanya informasi yang kita butuhkan adalah merupakan informasi
yang benar-benar sesuai dengan apa yang kita butuhkan. Di sinilah kita
harus berperan aktif, yakni tetap mengevaluasi informasi yang sudah kita
dapatkan, apalagi informasi yang kita butuhkan adalah data yang valid.
Perlu akurasi tinggi saat kita dihadapkan dengan jutaan informasi yang
ada di depan mata kita. Ini saat kita bergumul dengan internet.
Begitu
pun saat kita mengamati televesi. Sepenting apakah televisi bagi
kehidupan sehari-hari kita? Terkadang berita yang disuguhkan bisa saja
melanggar etika kesopanan, saat mereka menayangkan hal-hal yang
berhubungan dengan bom, misalnya. Tayangan itu bisa jadi menimbulkan
kecemasan masyarakat yang berlebih, karena dikemas secara berlebihan
pula.
Belum
lagi iklan-iklan yang ditayangkan. Betapa miris saat melihat iklan
produk minuman yang menggunakan anak-anak sebagai modelnya. Juga dengan
produk makanan instant lainnya. Lalu efek dari iklan produk itu bisa
ditebak. Ketika orang tuanya melarang untuk makan dan minum yang serba
instant itu (karena khawatir dengan bahan pengawetnya), maka sang anak
kemudian akan berkata bahwa televisi bilang tidak apa-apa dengan makanan
dan minuman yang dingini, buktinya model iklan itu tetap makan dan
minum produk itu seperti yang sedang diinginkan oleh anak-anak kita.
Tega juga ya, demi produk itu laku, maka sasarannya adalah anak-anak
kecil. Anak-anak Indonesia, para penerus generasi bangsa ini. Lalu,
harus berapa banyak lagi tayangan-tayangan itu akan memakan korban?
Korban iklan. Anak-anak kecil sudah disuguhi racun.
Belum lagi tayangan yang namanya sinetron. Masya Allah, Gusti Pangeranku. Hapunten anu disuhun… Aku sedih apabila orang-orang nantinya akan memiliki pola pikir hanya sejauh tayangan sinetron. Saat ada tayangan (maaf) orang cacat
yang kemudian diledek, disiksa perasaannya dengan mendorongnya saat dia
berada di kursi roda. Belum lagi dialog dan titik permasalahan yang
diambil.
Kemudian
sorotan selanjutnya adalah acara komedi. Kita harus benar-benar
selektif, apakah tayangan komedi yang kita lihat itu benar-benar sudah
lucu dan membuat kita tertawa terbahak-bahak, hanya karena melihat
kekurangan fisik seseorang di sana. Apa kabar hati nurani?
Sebagai bentuk penghargaan atas yang namanya inovasi kreatif dari cipta, karsa,
dan karya oleh manusia yang menemukan media sebagai sarana komunikasi
aktif ini, maka semaksimal mungkin, kita sebagai para penggunanya, dapat
menggunakannya dengan sebijak mungkin. Sekali lagi, kita menyadari
pentingnya era dijitalisasi bagi kelangsungan hidup kita. Namun apa pun
yang dibawa si dijitalisasi ini hendaknya menjadikan kita semakin dewasa
dalam menggunakannya. Tidak semua yang kita gunakan itu positif. Sikap
kritis kita akhirnya yang akan berbicara, sehingga apa yang kita gunakan
dapat berdaya guna dengan membawa manfaat bagi kita sendiri.
Mengantarkan
kabar gembira dariNya hingga ke ujung dunia. Mengantarkan cantiknya
budaya kita hingga ke ujung dunia. Mengantarkan kontemplasi kita hingga
ke ujung dunia. Mengantarkan segenap keindahan syukur kita hingga ke
ujung dunia. Menikmati media dan internet sebagai sarana komunikasi
aktif yang menyentuh kehidupan kita. Maka alangkah indahnya, jika kita
menggunakannya dengan indah pula, menjadikan sesuatu yang berharga bagi
kita sendiri dan orang lain. Mari…
Sebab,
hidup adalah komunikasi. Namun ada saat-saat tertentu di mana kita
hanya perlu untuk diam, merefleksikan apa yang kita baca, kita lihat,
dan kita dengar. Karena diam pun ternyata merupakan bentuk dari komunikasi.
*beberapa inspirasi diambil dari Diana Wardani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar