Jumat, 14 Juni 2013

Media Sebagai Sarana Komunikasi

Seandainya pada saat ini komunikasi jarak jauh hanya sebatas surat saja yang hanya bisa dikirimkan via Pak Pos, atau bahkan dikirim melalui Merpati Pos. Tak ada telepon, tak ada mobile device, tak ada televisi, tak ada surat kabar. Mungkin akan terjadi pembusukan informasi sebusuk-busuknya. Artinya, akan terjadi pembekuan informasi yang tidak tersampaikan dalam waktu singkat kepada masyarakat luas, saat masyarakat harus mengetahui informasi atau bentuk sosialisasi apa pun. Namun di lain sisi keadaannya mungkin akan lebih adem, karena bisa meminimalisir beragam jenis penipuan yang terjadi entah itu melalui ponsel atau jaringan sosial di internet pada akhir-akhir ini.

Teringat Suku Baduy Dalam dan masyarakat Kampung Naga, juga masyarakat Kampung Togutil, Ternate, Halmahera Utara, yang menolak arus modernisasi. Mereka sangat menjaga dan melindungi wilayahnya dengan sangat ketat demi kelestarian kemurnian. Bukan semata-mata agar terlihat unik, namun di situlah letak kebahagiaan sejati bagi mereka. Hidup murni alami tanpa diembel-embeli dengan sentuhan modernisasi. Bahagia tanpa gedung-gedung tinggi ber-AC, kendaraan, televisi, radio, blackberry, ipad, iphone, internet, twitter, facebook.

Saat menyadari bahwa kita hidup di tengah-tengah kemajuan era globalisasi ini, dengan sedikit banyak harus melibatkan media sebagai sarana komunikasi yang ada, bahwa dijitalisasi memang merupakan hal yang tidak dapat dibendung. Arus ini seperti sungai mengalir ke muaranya dengan deras. Kita tidak dapat menahan era ini (apalagi menahannya dengan kedua telapak tangan kita); di mana segalanya bisa diperoleh dengan sangat mudah dan cepat. Makanan yang kita inginkan, seketika ada di meja makan kita di rumah, hanya dengan beberapa kali sentuhan jemari kita pada angka telepon saja.

Informasi apa pun yang dibutuhkan, akan dengan sangat mudah menghampiri kita, hanya dengan menyentuhkan jemari kita di atas keyboard komputer yang terhubung dengan internet. Istilah googling yang paling marak terdengar dan digunakan. Mesin pencarian yang satu ini memang sangat diminati penggunaannya, dibanding dengan mesin pencarian lainnya seperti ask, yahoo, excit, goto, vivisimo, altavista, lycos, alltheweb, theoma, infoseek, dan lain sebagainya. Hingga kemudian muncul pertanyaan apakah google itu seperti tuhan yang serba tahu segalanya? Meskipun tidak selamanya informasi yang kita butuhkan adalah merupakan informasi yang benar-benar sesuai dengan apa yang kita butuhkan. Di sinilah kita harus berperan aktif, yakni tetap mengevaluasi informasi yang sudah kita dapatkan, apalagi informasi yang kita butuhkan adalah data yang valid. Perlu akurasi tinggi saat kita dihadapkan dengan jutaan informasi yang ada di depan mata kita. Ini saat kita bergumul dengan internet.

Begitu pun saat kita mengamati televesi. Sepenting apakah televisi bagi kehidupan sehari-hari kita? Terkadang berita yang disuguhkan bisa saja melanggar etika kesopanan, saat mereka menayangkan hal-hal yang berhubungan dengan bom, misalnya. Tayangan itu bisa jadi menimbulkan kecemasan masyarakat yang berlebih, karena dikemas secara berlebihan pula.

Belum lagi iklan-iklan yang ditayangkan. Betapa miris saat melihat iklan produk minuman yang menggunakan anak-anak sebagai modelnya. Juga dengan produk makanan instant lainnya. Lalu efek dari iklan produk itu bisa ditebak. Ketika orang tuanya melarang untuk makan dan minum yang serba instant itu (karena khawatir dengan bahan pengawetnya), maka sang anak kemudian akan berkata bahwa televisi bilang tidak apa-apa dengan makanan dan minuman yang dingini, buktinya model iklan itu tetap makan dan minum produk itu seperti yang sedang diinginkan oleh anak-anak kita. Tega juga ya, demi produk itu laku, maka sasarannya adalah anak-anak kecil. Anak-anak Indonesia, para penerus generasi bangsa ini. Lalu, harus berapa banyak lagi tayangan-tayangan itu akan memakan korban? Korban iklan. Anak-anak kecil sudah disuguhi racun.

Belum lagi tayangan yang namanya sinetron. Masya Allah, Gusti Pangeranku. Hapunten anu disuhun… Aku sedih apabila orang-orang nantinya akan memiliki pola pikir hanya sejauh tayangan sinetron. Saat ada tayangan (maaf) orang cacat yang kemudian diledek, disiksa perasaannya dengan mendorongnya saat dia berada di kursi roda. Belum lagi dialog dan titik permasalahan yang diambil.

Kemudian sorotan selanjutnya adalah acara komedi. Kita harus benar-benar selektif, apakah tayangan komedi yang kita lihat itu benar-benar sudah lucu dan membuat kita tertawa terbahak-bahak, hanya karena melihat kekurangan fisik seseorang di sana. Apa kabar hati nurani?

Sebagai bentuk penghargaan atas yang namanya inovasi kreatif dari cipta, karsa, dan karya oleh manusia yang menemukan media sebagai sarana komunikasi aktif ini, maka semaksimal mungkin, kita sebagai para penggunanya, dapat menggunakannya dengan sebijak mungkin. Sekali lagi, kita menyadari pentingnya era dijitalisasi bagi kelangsungan hidup kita. Namun apa pun yang dibawa si dijitalisasi ini hendaknya menjadikan kita semakin dewasa dalam menggunakannya. Tidak semua yang kita gunakan itu positif. Sikap kritis kita akhirnya yang akan berbicara, sehingga apa yang kita gunakan dapat berdaya guna dengan membawa manfaat bagi kita sendiri.

Mengantarkan kabar gembira dariNya hingga ke ujung dunia. Mengantarkan cantiknya budaya kita hingga ke ujung dunia. Mengantarkan kontemplasi kita hingga ke ujung dunia. Mengantarkan segenap keindahan syukur kita hingga ke ujung dunia. Menikmati media dan internet sebagai sarana komunikasi aktif yang menyentuh kehidupan kita. Maka alangkah indahnya, jika kita menggunakannya dengan indah pula, menjadikan sesuatu yang berharga bagi kita sendiri dan orang lain. Mari…

Sebab, hidup adalah komunikasi. Namun ada saat-saat tertentu di mana kita hanya perlu untuk diam, merefleksikan apa yang kita baca, kita lihat, dan kita dengar. Karena diam pun ternyata merupakan bentuk dari komunikasi.

*beberapa inspirasi diambil dari Diana Wardani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar